Saat ini, digitalisasi menjadi sebuah urgensi yang harus dieksekusi oleh para pemain bisnis di semua industri. Paling tidak, krisis akibat pandemi ini mendorong perusahaan-perusahaan segera melakukan akselerasi program transformasi digitalnya yang mungkin selama ini belum dilakukan, tersendat, ataupun sekadar hangat-hangat tahi ayam. Transformasi ini sudah saatnya diseriusi – bukan lagi sekadar tempelan atau sekadar gaya-gayaan agar perusahaan terkesan kekinian.
Sebenarnya, pada tahun-tahun lalu, transformasi digital sudah menjadi concern di kalangan pemain industri, khususnya menyambut Industri 4.0. Seperti dikutip dari riset global Futjitsu bertajuk Global Digital Transformation Survei Report 2019, 87% responden mengaku sudah memiliki rencana, menguji, atau mengimplementasikan transformasi digital. Dilihat secara industri, layanan keuangan (47%) dan transportasi (45%) menjadi sektor yang paling banyak mengimplementasikan transformasi digital.
Sementara, perusahaan online yang disurvei tampak lebih maju dalam transformasi digital dibanding perusahaan nononline. Sebanyak 91% perusahaan online sudah menerapkan transformasi digital dan lebih dari setengahnya mengaku telah mencapai hasil positif.
Di Indonesia, digitalisasi ini sudah lama digembar-gemborkan, termasuk di kalangan perusahaan konvensional. Namun, masa pandemi COVID-19 dengan kebijakan karantina dan pembatasan sosial sekarang ini menjadi ujian atau alat bukti sejauh mana perusahaan-perusahaan tersebut serius dalam melakukan transformasi digital. Meskipun platform daring sedang naik daun, tampak banyak perusahaan yang masih gagap menggunakan platform digital, entah untuk mengelola bisnisnya, melayani pelanggan, memonetisasi bisnis, mengatur pertemuan-pertemuan virtual, menggelar kampanye pemasaran, dan sebagainya.
Besarnya pengaruh COVID-19 pada kesadaran perusahaan untuk menerapkan strategi digital tampak pada survei global yang digelar oleh Boston Consulting Group berjudul COVID-19 BCG Prespectives (Mei, 2020). Riset yang melibatkan para pemimpin bisnis ini menyatakan lebih dari 75% perusahaan berencana melakukan akselerasi transformasi digital. Sebelum pandemi pecah, kapabilitas digital dan teknologi (50%) menjadi prioritas yang paling diincar oleh investor. Disusul dengan investasi pada Research & Development (44%), dan marketing dan sales (41%).
Sementara, pascakrisis, transformasi digital dianggap lebih urgen untuk dilakukan di semua industri (77%). Teknologi, media dan telekomunikasi menjadi industri yang paling merasakan urgensi tersebut (82%), disusul makanan industri (81%), sektor publik (75%), lembaga keuangan (74%), konsumer (67%), dan health care (58%). BCG menegaskan, krisis COVID-19 ini menjadi momentum percepatan transformasi digital.
Empat Kuadran
Siap tidak siap, krisis ini menjadi lonceng peringatan bagi perusahaan untuk segera mengadopsi strategi digital. Digitalisasi sudah pada titik urgensi. Seperti direkomendasikan MarkPlus, Inc. dalam whitepaper-nya berjudul Digitalization Strategies Amid COVID-19: One Size Doesn’t Fit All, saat ini perusahaan tidak dapat lagi menunda-nunda digitalisasi ketika keberlangsungan bisnis mereka tergantung pada digital.
Laporan tersebut juga merekomendasikan langkah-langkah yang bisa diterapkan oleh perusahaan di lintas industri berdasarkan tingkat kesiapan mereka melakukan digitalisasi. Sementara, di edisi yang sedang Anda baca ini, kami menyuguhkan, perusahaan-perusahaan di sembilan industri yang melakukan upaya akselerasi transformasi digital, termasuk menakar tingkat kesiapan mereka. Kesembilan industri tersebut, antara lain otomotif, logistik, perbankan, asuransi, multifinance, telekomunikasi, e-commerce, properti, dan Fast Moving Consumer Goods (FMCG).
Tingkat kesiapan yang berbeda menentukan strategi digitalisasi yang berbeda. Bahkan, perusahaan-perusahaan di industri yang sama bisa memiliki tingkat kesiapan yang berbeda yang berpengaruh pada strategi digitalisasi yang berbeda pula.
Penilaian terhadap tingkat kesiapan tersebut menyangkut dua sisi, yakni supply dan demand. Jadi, langkah pertama dari sisi supply adalah mengevaluasi kemampuan perusahaan melakukan digitalisasi proses bisnis mereka. Langkah kedua, menentukan apakah pasar, dari sisi demand, siap dan mau bermigrasi ke tahap yang lebih digital. Dua pertimbangan tersebut membentuk matriks yang memetakan posisi perusahaan di kuadran kesiapan digital. Ada empat kuadran dalam penilaian kesiapan digital, yakni Origin, Onward, Organic, dan OMNI.
Kuadran Origin merujuk pada industri yang digitalisasi dalam proses bisnisnya rendah. Sementara migrasi digital di kalangan konsumen juga rendah. Industri di kuadran ini mengalami pukulan paling keras selama pandemi. Ini dikarenakan oleh proses bisnis mereka secara signifikan membutuhkan interaksi fisik yang susah dihilangkan maupun diganti. Pada saat yang sama, mereka juga tidak mungkin memigrasi konsumen ke digital touch point karena kurangnya urgensi melakukan pembelian saat krisis. Perusahaan-perusahaan di industri properti dan otomotif cenderung berada di kuadran ini.
Strategi yang bisa dipakai saat krisis adalah perampingan proses bisnis. Caranya dengan mempertahankan konsumen paling potensial, mengubah value proposition, dan memangkas ongkos dengan tetap menyampaikan nilai-nilai ke konsumen.
Kuadran Onward merujuk pada industri dengan migrasi digital pelanggan yang rendah tetapi digitalisasinya dalam proses bisnis tinggi. Perusahaan di ranah ini biasanya kesulitan memigrasi pelanggan meskipun ia sudah melakukan digitalisasi sedemikian rupa. Perusahaan asuransi cenderung mengalami hal ini.
Meskipun perusahaan memiliki produk dan kanal layanan digital, literasi digital nasabah masih rendah. Mereka masih lebih memilih tatap muka dengan agen ketimbang mengakses kanal online. Nah, pandemi memaksa mereka berurusan dengan perusahaan asuransi melalui online. Ini menjadi kesempatan bagus bagi perusahaan untuk mengedukasi nasabah dua hal sekaligus, yakni produk asuransi serta layanan digital. Ini yang kurang lebih dilakukan oleh Prudential Indonesia, Allianz Indonesia, maupun Generali.
Selain itu, perusahaan perlu menciptakan insentif bagi pelanggan untuk mendorong penjualan mengingat pelanggan belum melihat produk dan layanan asuransi sebagai prioritas. Perusahaan perlu menggenjot edukasi digital ke pelanggan, menerapkan taktik quick-win dalam merespons kebutuhan pelanggan saat krisis, dan melakukan inbound marketing melalui kanal-kanal digital.
Kuadran Organic merujuk pada industri dengan migrasi digital pelanggan tinggi tetapi digitalisasi di perusahaan rendah. Kuadran ini mencakup perusahaan yang memberikan produk dan layanan dengan tingkat kontak fisik tinggi. Industri ini terbilang padat karya dan mengalami kesulitan ketika harus mengelola karyawan secara jarak jauh. Di sisi lain, sebagian besar pelanggannya sudah cukup melek digital. Salah satu contohnya, perusahaan logistik. Pelanggan mereka sudah digital savvy karena juga menjadi pelanggan e-commerce. Perusahaan model ini bisa mensiasati dengan melakukan digitalisasi parsial.
Selain itu, perusahaan bisa memulai proses bisnis yang lebih gesit dan tanggap dengan perubahan perilaku konsumennya. Perlu juga mengadopsi teknologi yang tak harus baru dan mahal. Cukup memanfaatkan sumber daya yang sudah ada. Misalnya, menggunakan teknologi agar terhubung dengan konsumen, entah dengan konferensi video atau komunikasi media sosial. Bila memungkinkan, perusahaan bisa membuat produk atau layanan secara online, entah dengan situs e-commerce bikinan sendiri atau dari pihak ketiga.
Perusahaan juga bisa mengadopsi teknologi untuk mengoptimalkan kerja dari rumah. Bentuknya bisa platform atau aplikasi yang memungkinkan kerja secara kolaboratif. Bila tak cukup kecakapan dalam hal teknologi, perusahaan bisa membuat kemitraan strategis dengan penyedia teknologi.
Kuadran OMNI merujuk pada industri dengan migrasi digital pelanggan dan digitalisasi proses bisnis yang tinggi. Industri di kuadran ini biasanya mengalami dampak paling ringan dari pandemi ini. Contohnya, perusahaan e-commerce dan perbankan. Merekalah yang paling siap menghadapi situasi pascapandemi.
Meski sudah melakukan digitalisasi, perusahaan tak boleh lengah dan berhenti berinovasi. Perusahaan perlu menyiapkan diri menyambut masa pascakrisis. Mereka bisa membanun penawaran baru kepada pelanggan dengan teknologi baru. Ini bisa dimulai dengan mengadopsi teknologi generasi baru yang mendukung inovasi produk. Ini sebagai antisipasi pada perilaku dan preferensi pelanggan yang makin menuntut – lebih berkualitas sekaligus lebih murah. Artificial Intelligence (AI), Internet of Things (IoT), dan otomasi bisa dieksplorasi lagi.
Selain itu, perusahaan bisa menggunakan teknologi baru untuk memberi nilai tambah pada customer journey. Ia bisa memperkenalkan OMNI customer experience dengan menggunakan big data yang mendukung layanan pelanggan yang lebih terpersonalisasi. Dan, masa pandemi ini bisa dimanfaatkan untuk memperkuat brand values. Salah satu caranya dengan menunjukkan kepeduliannya pada nasabah, komunitas masyarakat, lingkungan, dan karyawan.
Cepat Tak Gegabah
Demikianlah empat kuadran yang bisa dipakai untuk mengukur seberapa siap perusahaan kita melakukan transformasi digital. Ini merupakan waktu terbaik bagi perusahaan untuk memikirkan kembali proses bisnisnya dan mencari cara terbaik untuk melakukan digitalisasi. Sekali lagi, empat kuadran tadi hanya alat bantu untuk menilai seberapa siap perusahaan melakukan digitalisasi. Tingkat kesiapan ini akan menentukan strategi mana yang akan diambil. Setiap industri tak bisa dipukul rata mengingat ada perusahaan-perusahaan yang meskipun berada dalam industri yang sama namun berada di kuadran yang berbeda lantaran perbedaan tingkat kesiapan tersebut.
Satu lagi, meskipun eksekusinya harus cepat bukan berarti Anda melakukan digitalisasi secara gegabah. Anda perlu membuat dulu peta jalan agar digitalisasi tidak salah arah. Yang jelas, Anda perlu melihat lebih dulu lanskap industri dan menentukan arah utama digitalisasi. Transformasi ini tidak berarti semua lini bisnis harus didigitalisasi. Ada hal-hal yang memang tak perlu atau tak bisa digitalisasi dan perusahaan perlu menjalankannya secara OMNI.
Proses ini juga membutuhkan kepemimpinan yang kuat dari petinggi perusahaan. Digitalisasi harus masuk dalam visi sang pemimpin dan tentunya didukung dengan kultur digital yang dibangun di perusahaan dan juga harus terukur. Yang jelas, ujung digitalisasi ini bukan untuk gagah-gagahan, melainkan agar bisnis tetap relevan dengan perubahan zaman dan kebutuhan pelanggan yang makin kompleks.
Selamat membaca dan menggali insight dari perusahaan-perusahaan di sembilan industri yang kami angkat di edisi ini. Memang, tidak ada satu strategi yang berlaku untuk semuanya. Anda sendirilah yang perlu mengenali tingkat kesiapan perusahaan Anda, kemudian menentukan rencana yang paling cocok, dan mengalokasikan sumber daya dengan arahan strategis. Ingat, tindakan strategis yang tepat akan membuat perusahaan tidak hanya selamat dari krisis, tetapi juga siap menyongsong masa depan.
Tunggu apa lagi?